TikTok, aplikasi media sosial global yang dimiliki oleh perusahaan Tiongkok, ByteDance, kembali berada di bawah pengawasan ketat. Kali ini, fokus kritik bukan hanya pada potensi pengawasan oleh pemerintah Tiongkok, tetapi juga pada kerjasama data mereka dengan lembaga penegak hukum Amerika Serikat, khususnya Immigration and Customs Enforcement (ICE) dan Department of Homeland Security (DHS). Kerjasama ini, meskipun diklaim sebagai pemenuhan kewajiban hukum, telah memicu gelombang kritik besar dari aktivis privasi dan pengguna yang khawatir akan pengawasan berlebihan oleh pemerintah AS.
Insiden ini menyoroti dilema kompleks yang dihadapi oleh platform digital besar: bagaimana menyeimbangkan kepatuhan terhadap hukum negara tempat mereka beroperasi dengan hak privasi dan perlindungan data pengguna di seluruh dunia.
Seperti perusahaan teknologi lain yang beroperasi di AS, TikTok terikat untuk menanggapi permintaan data yang sah dari penegak hukum, seperti surat perintah (warrant) atau panggilan pengadilan (subpoena). Namun, sifat kerjasama dengan lembaga seperti ICE dan DHS, yang memiliki peran sentral dalam penegakan imigrasi dan keamanan dalam negeri, memicu kekhawatiran spesifik.
Lembaga Penegak Hukum: ICE dan DHS dapat meminta data untuk kasus-kasus mulai dari penyelidikan perdagangan manusia, terorisme, hingga pelanggaran imigrasi.
Jenis Data: Data yang diminta seringkali mencakup informasi identifikasi pengguna, alamat IP, data lokasi, dan riwayat komunikasi atau aktivitas online di dalam aplikasi.
Implikasi Geopolitik: Karena asal-usul TikTok, setiap transfer data, meskipun kepada pemerintah AS, menambah lapisan kerumitan, di mana setiap pihak (baik AS maupun Tiongkok) saling mencurigai penggunaan data tersebut untuk keuntungan strategis.
Reaksi publik dan komunitas privasi terhadap laporan kerjasama data ini sangat keras. Kritik utamanya berpusat pada dua poin:
Aktivis berpendapat bahwa data yang diserahkan, terutama kepada ICE, berpotensi digunakan untuk menargetkan individu atau komunitas tertentu untuk penegakan imigrasi yang ketat. Pengguna tidak menyadari bahwa aktivitas bersosialisasi mereka di TikTok bisa menjadi alat bagi pemerintah untuk melacak keberadaan mereka.
Bagi banyak kritikus, hal ini memperkuat pandangan bahwa TikTok, terlepas dari jaminan keamanannya, pada dasarnya adalah alat pengawasan—hanya saja kali ini digunakan oleh otoritas AS. Mereka menuntut standar transparansi yang jauh lebih tinggi mengenai jenis data yang diserahkan dan alasan hukum di baliknya.
TikTok, dalam pembelaannya, kemungkinan akan menegaskan bahwa mereka hanya mematuhi proses hukum yang berlaku di AS, sama seperti Meta, Google, atau X (sebelumnya Twitter). Namun, tuntutan dari publik internasional kini bergeser:
Transparansi Laporan: Desakan agar TikTok merilis laporan transparansi yang lebih detail mengenai jumlah dan jenis permintaan data yang diterima dari DHS dan ICE, dan persentase permintaan yang mereka penuhi.
Minimisasi Data: Tuntutan agar platform meminimalkan data yang mereka kumpulkan sejak awal, sehingga mengurangi volume data sensitif yang tersedia untuk permintaan pemerintah mana pun.
Kerjasama data TikTok dengan lembaga keamanan AS adalah cerminan dari meningkatnya pertarungan global atas data. Ini menempatkan pengguna di tengah konflik, memaksa mereka untuk mempertanyakan: Siapa sebenarnya yang melindungi data kita, dan apa batasan dari pengawasan yang sah?
Need Any Technology Solution